Sistem keteraturan
masyarakat yang menyangkut semua aspek pertama darisistem politik yang
memberikan kekuasaan besar kepada golongan bangsawan, lalu sistem
sosial yang mengagung – agungkan jabatan atau pangkat dan bukan
prestasi kerja.
Struktur feodal di Jawa
berbeda sekali dengan struktur feodal di Eropa pada abad pertengahan
(Semma,2008;Burger 1962) . sistem feodal di jawa dilandasi oleh kebudayaan jawa
kuno yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Islam. di Jawa sistem feodalnya
bersifat total berdasarkan masyarakat pertanian ( Schireke,1960)
Saya
akan menjabarkan Feodalisme kerajaan Indonesia yang paling berpengaruh padapolitik,
Feodalisme membentuk relasi atas-bawah yang dibangun dengan loyalitas.
Feodalisme Jawa yang memiliki nilai kebudayaan yang direproduksi dan diwariskan
secara turun temurun. Feodalisme Jawa dibangun atas kekuasaan penguasa
didasarkan atas jumlah pengikut dan diikat oleh konsep bersatunya kawula dan
gusti, atau bawahan dan atasan.
Raja dianggap
sebagai pusat dari segala kekuasaan dan alam semesta, serta pemilik jagad raya.
Paham ini menempatkan raja sebagai pemilik tanah kerajaan dengan kekuasaan
mutlak. Dalam situasi demikian itu, maka kawula hanya mengenal hak pakai atas
tanah dengan sistem hanggadhuh. Terhadap kaum keluarga dan kerabat kerja serta
para pegawai kerajaan diberlakukan sistem tanah pinjam berupa tanah apanase
untuk kaum keluarga dan kaum kerabat raja (Sentra dalem), dan lungguh atau
bengkok untuk para pegawai kerajaan (Abdi Dalem). Disamping itu dalam hal-hal
khusus, raja menghadiahi tanah kepada sekelompok warga masyarakat tertentu
dengan tugas-tugas tertentu. Dari kejadian ini lahirlah tanah-tanah perdika
mutihan dan sebagainya
Kedudukan
pemimpin dalam masyarakat Jawa identik dengan kaum priyayi dan Bangsawan dan
sangat dipandang tinggi dan mulia. Yang namanya trah bangsawan maupun priyayi
memiliki citra khusus dan istimewa, selain ”berdarah biru” mereka dianggap
mumpuni dan waskita dalam pergaulan masyarakat kebanyakan. Dan ketika
orang-orang berkedudukan lebih rendah tidak berhak menilai norma
moral orang – orang yang berkedudukan lebih rendah tidak berhak
menilai norma moral orang-orang yang berkedudukan tinggi, apalagi mengkritik
atau meminta pertanggung jawaban mereka, maka atasan dengan sendirinya dianggap
benar, tidak pernah salah dan dengan demikian menjadi standar
moral yang akan ditiru oleh bawahannya.
Struktur
feodalisme dalam pandangan masa kini bisa di katakan tidak ada ketidakadilan
dan memang itulah yang ada dalam sistem feodalisme. Yang paling berkuasalah
yang mengatur segalanya dari segi politik, dia yang mempunyai lahan yang luas
dan mempunyai harta kekayaan dialah yang berkuasa(bangsawan), tetapi ada juga
yang secara turun – temurun berkuasa karena atas dasar banyak pengikutnya
dan dipercaya oleh para pengikutnya (Raja). Sedangkan para abdi
dalem itu hanya orang-orang yang setia pada raja atas dasar loyalitas dan sudah
melayani dan berbakti pada raja dengan jangka watu yang tidak lama, serta para
keluarga raja. Dan para petani dan wong cilik hanya sebagai bagian dari
stratifikasi sosial yang sebenarnya sangat berperan penting dalam struktur
feodal, seperti rakyat. Dalam era yang sekarang pun unsur rakyat sangat penting
dalam sebuah negara tanpa adanya rakyat maka tidak bisa disebut negara, begitu
pula dengan struktur feodalisme semakin sedikit rakyat maka kerajaannya pun
semakin lemah. Karena pada masa feodalisme ini sektor pertanian sangatlah
penting dan pertanian tidak akan berjalan tanpa adanya petani yang banyak pula
mengingat semakin besar hasil produksinya maka kerajaan itu akan semakin maju.
Itulah sedikit pandangan saya tentang Feodalisme yang ada di Indonesia
yang saya kutip dari beberapa buku dan internet serta dari pemahaman saya
Stuktur Feodal dan pengaruh terhadap ekonomi VOC dan Hindia Belanda di
Wilayah Indonesia !
Statifikasi sosial feodal
masyarakat jawa terdiri dari :
(a) Raja mempunyai kekuasaan
yang absolut atas atas hidup dan hak milik hamba kawulanya dari yang tertinggi
hingga yang terendah
(b) Bangsawan, baik yang berasal dari
keluarga raja maupun priyayi atau abdi dalam atau pegaawai kerajaan di atas
kepala desa serta orang – orang yang tidak biasa ( cedikiawan, sastrawan /
pujangga)
(c) Petani – wong cilik
Paham kekuasaan Jawa
yang dilandasi dengan despotisme membawa akibat raja harus mempertahankan
monopoli kekuasaan mutlak . Oleh karena itu di Jawa tidak mungkin ada bangsawan
– bangsawan daerah sejati yang memiliki otonomi luas. Karena juga terikat
dengan doktrin despotis. Raja adalah turunan dewa yang menguasai segala tanah
dan seisinya serta yang hidup di atasnya.
besarnya kekuasaan raja
dalam mengatur dan menentukan seseorang dalam tangga sosial masyarakatnya
sehingga Raja berperan dalam mengangkat seseorang dari kalangan bawah menjadi
seorang bupati atau patih melalui pangestu
kaum priyayi, baik
terhadap raja maupun terhadap kawula. Mereka nunut kamukten (
numpang kemuliaan) raja dengan cara melanggengkan simbol kekuasaan. Meninggikan
raja dalam banyak upacara, sama
dengan menegaskan
kepriyayian mereka. Kesetiaan priyayi pada raja adalah karena perkenalan mereka
sejak dini dengan kekuasaan melalui simbol- simbol bersamaan dengan
sosialisasi. Stratifikasi priyayi yang ditunjukan dalam simbol baik jumlah
sembah, pakaian, bahasa dan tempat duduk waktu mengahdap raja, semuanya
memperkuat struktur tersebut. Menjadi abdi dalem bagi priyayi adalah cita –
cita mereka sejak kecil.
Pemimpin, orang –orang
tinggi dan para orang tua dalam pandangan orang Jawa harus dilayani dan
dihormati secara luas. Orang – orang bawahan merasa dihormati kalau boleh
menghaturkan hadiah kecil kepada atasan , sebaliknya menjadi atasan membawa
kewajiban untuk melindungi para bawahan dan mereka yang kedudukannya lembih
rendah. Bawahan mengharapkan dari atasan perlindungan dan pedoman moral,
sedangkan atasan boleh memperhitungkan pelayanan dan loyalitas dari para
bawahan. Bawahan dan orang – orang rendahan tidak berhak untuk mengukur atasan
atau orang – orang yang berkedudukan lebih tinggi norma moral, untuk mengkritik
atau meminta pertanggungjawaban mereka , melainkan justru sebaliknya, kelakuan
atasan dengan sendirinya dianggap benar dan dengan demikian menjadi standar
moral yang akan ditiru oleh bawahannya (Suseno,1996). Koentjaraningrat ( 1969)
menilai kenyataan tersebut secara negatif.
Pengaruh pada VOC dan
Hindia Belanda :
Pada masa Van den bosch
tahun 1830, pemerintah Belanda membangun sebuah sistem ekonomi-politik yang
menjadi dasar pola kapitalisme negara di Indonesia. Sistem ini
bernama tanam paksa. Ini diberlakukan karena VOC mengalami kebangkrutan.Tanam
Paksa merupakan tonggak peralihan dari sistem ekonomi perdagangan (merkantilis)
ke sistem ekonomi produksi. Ciri-ciri tanam paksa ini berupa:
1. Kaum tani diwajibkan
menanam tanaman yang laku dipasaran Eropa, yaitu tebu, kopi, teh, nila, kapas,
rosela dan tembakau; kaum tani wajib menyerahkan hasilnya kepada pemerintah
kolonial dengan harga yang telah ditentukan oleh pemerintah Belanda;
2. Perubahan (baca:
penghancuran) sistim pengairan sawah dan palawija;
3. Mobilisasi kuda,
kerbau dan sapi untuk pembajakan dan pengang kutan;
4. Optimalisasi
pelabuhan, termasuk pelabuhan alam;
5. Pendirian
pabrik-pabrik di lingkungan pedesaan, pabrik gula dan karung goni;
6. Kerja paksa atau rodi
atau corvee labour untuk pemerintah;
7. Pembebanan berbagai
macam pajak.
Sistem ini juga
merupakan titik awal berkembangnya kapitalisme perkebunan di Indonesia.
Tapi dalam pelaksanaan
sistem ini pelaksanaannya tidak luput dari tatanan yang feodal, dengan
menggunakan bantuan orang-orang lokal, di mana desa menjadi mata rantai antara
petani dan pejabat di nusantara atau biasanya disebut regent oleh Belandadan
regent ini bertanggung jawab kepada pemerintah setempat. Sehingga secara
langsung VOC dan Hindia Belanda menggunakan para penguasa daerah sebagai alat
untuk melakukan tanam paksa ini, karena tatanan liberalisme tidak mungkin
diterapkan di Nusantara yang tidak selan dengan kultur masyarakat Nusantara.
Karena paham konservatif
ini secara langsung akan membentuk hubungan langsung antara pemerintah dan desa
dengan melalui perantara seorang bupati, Bupati berperan sebagai pengawas dan
menjamin produksi atau disebut mandor, sedang kepala desa bertanggung jawab
memenuhi target produksi. Dan setiap bupati dan Kepala desa di bayar
berdasarkan jumlah produksi dan kualitas produksi tersebut ( cultuurprocenten)
Itulah beberapa alasan
mengapan peranan feodal spenting bagi VOC dan Hindia-Belanda karena struktur
masyarakat Nusantara yang tradisinal masih kuat menganut feodal jadi mau tidak
mau VOC maupun Hindia Belanda harus mempunyai strategi untuk menyiasati hal
tersebut, karena dari beberapa sistem yang dilaksanakan di Nusantara mengalami
kegagalan, di antaranya monopoli, pajak dan lain lain. Dan untuk itu maka
diadakan penyelesaian memalui percampuran antara kolonialisasi dan feodal,
Sumber :
Schrieke, B. 1960. Indonesian Sosiological Studies.:The
Position Of The Regents From The Days Of the Dutch East India Company To The Constitutional
Regulation of 1854. Bandung : Sumur Bandung. 2nd edition.
Ricklefs, M.C.1992. Sejarah Indonesia Modern. Penerjemah:
Dharmono HardjowidjonoYogjakarta: Gadjah Mada University Press.
Kuntowijoyo. 2004. Raja, Priyayi Dan Kawula. Jogyakarta: Penerbit Ombak.
Suseno, Frans Magnis. 1996. Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi
Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Dra. Erlina Wiyanarti, M.Pd
ARTIKEL JURNAL INTERNASIONAL APPS “HISTORIA “ KORUPSI PADA MASA VOC DALAM
MULTIPERSPEKTIF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar