Selasa, 23 Desember 2014

Fasisme



Nama : Misbahul Ulum
NIM   : 120210302002

FASISME
A.    Sejarah Fasisme
Dalam sejarah politik kontemporer, kita mengenal berbagai macam ideologi politik yang pada akhirnya mempengaruhi perkembangan sosial-politik didunia terutama terjadi pasca Perang Dunia II sampai sekarang ini. Sebelum Perang Dunia II kekuasaan pemerintahan di wilayah Eropa didominasi oleh raja-raja monarchi-feodal yang mempertahankan kerajaan-kerajaan mereka sebagai milik pribadi sementara itu di wilayah lain seperti benua Asia, Afrika dan Eropa sebagai daerah koloni dari bangsa-bangsa Eropa. Salah satunya adalah fasisme. Apa sebenarnya fasisme, dan bagaimana latar belakang fasisme?. Fasisme merupakan paham politik ideologi yang diambil dari bahasa Italia, “fascio” atau dari bahasa Latin yaitu “fascis” yang artinya seikat tangkai kayu. Ikatan kayu tersebut ditengahnya terdapat kapak. Pada masa Kerajaan Romawi fascis merupakan symbol dari kekuasaan pejabat pemerintah. Dalam pengertian modern, fasisme merupakan sebuah paham politik yang mengagungkan kekuasaan absolud tanpa demokrasi. Dalam pahan fasisime, nasionalisme sebagai ideology pendorong utama namun bersifat ultra- nasionalisme atau semangat nasionalisme yang berlebihan.
Sebenarnya, fasisme merupakan gaya politik dan pemerintahan daripada ideology sebagai seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama. Paham ini merupakan tipe nasionalisme yang romantis dengan segala symbol dan kemegahan upacara untuk mencapai kebesaran bangsa dan negara (Ramlan Surbakti,1992:38). Untuk mencapai tujuan dari fasisme, harus ada sosok kharismatik dalam memimpin bangsa dan negara. Tokoh kharismatik tersebut sebagai symbol kebesaran negara dan didukung masa atau rakyat yang fanatik terhadap pemimpin tersebut.
Pada abad ke-20, fasisme muncul di Italia dengan pemimpinnya Mussolini, sementara di Jerman sebuah paham yang dihubungkan dengan fasisime yaitu nazisme pimpinan Adolf Hitler. Nazisme tidak menekankan pada ultra-nasionalsme saja namun juga rasialisme dan rasisme yang sangat kuat. Pada masa Perang Dunia II, fasisme dan nazisme memberi gambaran yang sangat mengerikan tentang  kaganasan dan ketidakmanusiaan.
Istilah fasisme pertama kali muncul pada masa Perang Dunia I, tepatnya pada tahun 1919 saat berdirinya gerakan Fasis Italia dan selanjutnya paham kediktatoran fasisme dirubah lebih moderat. Sementara itu, gagasan fasisme yang lebih sempit dan radikal diterapkan oleh Adolf Hitler dengan paham nasionalis-sosialis atau Nazisme. Nazisme menganut ideolgi campuran antara fanatisme ras dan pragmatisme (Roger Eatwell,2004:248).
Secara umum yang dianggap dan mewakili fasisme adalah Fasisme di Italia pada jaman Mussolini dan Nazisme Jerman , dimana ideology tersebut sebagai penyebab utama meletusnya Perang Dunia II tahun 1939-1945. Fasisme digunakan untuk mengacu pada fasisme di Italia, sedangkan Nazisme digunakan untuk menyebut fasisme di Jerman pada masa Adolf Hitler. Namun pada perkembangannya kekuasaan sebuah rezim di belahan dunia dianggap sebagai fasisme juga seperti Pemerintahan Jepang pada Perang Dunia II,kediktatoran Spanyol pada masa Jenderal Franco (1939-1975), Pemerintahan Peron di Argentina(1943-1955), Pemerintahan Jenderal Augusto Pinochet di Chike (1973-1988) dan yang mutakhir rezim Sadam Husein di Irak yang akhirnya pemerintahan Sadam Husein ditumbangkan oleh Amerika Serikat.
Meski fasisme dianggap sebagai gaya politik namun sebenarnya juga sebagai sebuah ideology. Fasisme dan Nazisme pada umumnya terdapat 7 gagasan dasar, yang terdiri dari (Lymant Tower Sargent,1986:182):
  1. Irrasionalisme. Fasisme menolak penerapan dan teori ilmu pengetahuan dalam mengatasi masalah-masalah sosial  dan cenderung pada penggunaan mitos. Anggapan dasarnya bahwa manusia bukanlah mahluk rasional. Mereka tidak perlu bermusyawarah namun hanya dapat dipimpin dan dimanipulasi. Untuk memanipulasi sebuah informasi perlu dengan kebencian terhadap etnis, suku bangsa ataupun budaya bangsa lain. Tekanan pada nazisme terpusat pada mitos tentang darah (rasisme) dan tanah (nasionalisme) serta penggunaan kekerasan sebagai bagian dari kehidupan dalam penyelesaian masalah. Hal ini dapat dicontohkan ketika Hitler memerintahkan membunuh bangsa Yahudi dalam Perang Dunia II sebagai cara untuk menjaga pemurnian ras bangsa Arya (Jerman).
  2. Darwinisme Sosial. Darwinisme Sosial merupakan sebutan yang secara umum diberikan kepada teori-teori sosial yang memandang kehidupan sebagai perjuangan hidup lebih lama dalam spesies atau antar spesies.
  3. Nasinalisme. Dalam fasisme dan nazisme, nasionalisme mengandung arti yang berbeda dalam arti tertentu. Bangsa merupakan unit penting terhadap siapa kaum fasis berhubungan sedangkan bagi kaum nazisme, ras merupakan masalah utama sedangkan masalah bangsa sebagai hal kedua.
  4. Negara. Negara merupakan sarana atau wadah yang digunakan untuk mempersatukan bangsa dan kebangsaan serta ras. Bangsa atau penduduk sebagai “organisasi hidup” untuk menggantikan negara. Konsep negara ini menekankan kelangsungan hidup seluruh masyarakat dari generasi ke generasi.
  5. Prinsip Kepemimpinan. Negara adalah mekanisme untuk menjalankan kepercayaan-kepercayaan fasis dan berproses di atas prinsip kepemimpinan. Dalam prinsip kepemimpinan menyatakan bahwa bawahan secara mutlak tunduk pada atasan. Hierarki kepemimpinan bersifat tunggal dan mutlak. Dalam prakteknya nanti dijumpai pemimpin kharismatik, yaitu pemimpin yang dapat menarik masyarakat dengan menggunakan kekuatan kepribadiannya.
  6. Rasisme. Bagian penting Sosialisme-Nasionalisme atau Nazisme adalah masalah rasisme. Perang Dunia II di Eropa yang dimulai dari ketokohan Hitler di Jerman mengumandangkan keunggulan ras Jerman sebagai faktor keunggulan dibanding ras lain di dunia.
  7. Antikomunis. Salah satu aspek ideology fasisme diterima dan didukung masyarakat atau rakyat di suatu negara adalah sikapnya yang antikomunis. Fasisme tumbuh dan hidup dengan sikap yang tegas terhadap komunis. Kaum komunispun menyadari jika cirri fasisme antara lain antikomunis. Namun sikap fasisme tidak hanya antikomunisme tetapi juga antirasional, anti intelektual dan antimodern.
Faktanya, sekarang ini status fasisme diseluruh dunia mengalami pasang surut. Gerakan yang dipelopori Mussolini dan Hitler pada pasca Perang Dunia I sulit untuk berkembang. Gerakan ini hanya dapat tumbuh jika terdapat kondisi dan situasi yang mendukung seperti ketidaktentraman, ketidakpuasan dan tuntutan terhadap tata tertib atau tatanan sosial yang ada. Meskipun demikian sampai sekarang di dunia terdapat system atau bentuk pemerintahan yang mendapat inspirasi dari metode-metode fasisme.



B.    Fasisme di Indonesia

Indonesia Dalam Bayang-Bayang Fasisme :
“Keacuhan Pemerintah Terhadap Kemiskinan, Merupakan Bentuk Fasisme Gaya Baru di Indonesia”     
            Fasisme adalah sebuah paham atau ajaran tentang pengaturan suatu sistem pemerintahan dan masyarakat secara totaliter oleh suatu kediktatoran partai-tunggal yang sangat nasionalis, rasialis, militeris, dan imperialis. Kalau komunisme adalah suatu bentuk pemberontakan besar totaliter yang pertama pada abad ke-20, fasisme sendiri adalah pemberontakan kedua. Didaratan Eropa, pada tahun 1922 Italia menjadi negara pertama yang menganut paham fasisme dengan Benito Mussolini sebaagai pemimpin gerakannya. Setelah itu disusul oleh Jerman pada tahun 1933 yang sangat terkenal dengan kelompok NAZInya yang dipimpin oleh Adolf Hitler dengan sangat luar biasa dan Spanyol pada tahun 1939. Jika kita lihat dari sejarahnya, paham fasisme lebih berkembang di negara-negara yang memiliki teknologi yang cukup bagus dan mengalami industrialisasi yang cukup berkembang. Apabila komunisme untuk sebagian besar adalah hasil dari masyarakat-masyarakat pra-demokrasi dan pra-industri, maka fasisme adalah sebuah paham yang lahir setelah ada demokrasi dan industrialisasi.
            Adapun unsur-unsur utama dari fasisme itu sendiri yang pertama adalah ketidakpercayaan akan pertimbangan akal, artinya paham fasisme adalah paham yang memiliki nilai dogmatis yang sangat kuat dari pemimpinnya. Kemudian yang kedua adalah penyangkalan terhadap persamaan manusia pada dasarnya, yaitu sikap yang sama-sama dipunyai oleh gerakan-gerakan dan negara-negara fasis. Artinya mereka beranggapan bahwa antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya itu berbeda, dan menengaskan bahwa ketidaksamaan adalah suatu bentuk cita-cita. Contohnya adalah derajat antara laki-laki dan perempuan, demikian juga serdadu-serdadu lebih tinggi derajatnya ketimbang masyarakat sipil atau orang biasa, dan lain sebagainya. Yang ketiga adalah kode tingkah lakunya berdasarkan dusta dan kekerasan, artinya dalam upaya mencapai kekuasaan dan kemenangan, sah hukumnya untuk kemudian menerapkan dusta dan juga kekerasan. Selanjutnya adalah pemerintahan oleh golongan terpilih, ini didasarkan pada falsafah Plato yang menyatakan bahwa raja-raja atau pujangga (philosopher-king)lah yang cocok untuk memerintah suatu masayarakat. Kemudian sistemnya yang totaliter dalam mengolah suatu pemerintahan. Yang keenam adalah rasialisme dan imperialism, dan yang terakhir yang menjadi cirri utama dari paham fasisme ini adalah oposisi terhadap undang-undang dan aturan-aturan internasional.
            Di Indonesia sendiri, paham atau ajaran akan fasisme tidak begitu setenar yang ada di kawasan Eropa. Artinya penerapan dari ajaran fasis itu sendiri hanya diimplementasikan disektor-sektor tertentu saja. Contoh penerapan fasisme yang nyata di Indonesia adalah ketika rezim Orde Baru yang sangat totaliter memimpin negeri ini dengan Jendral Soeharto sebagai ujung tombaknya. Masa dimana ketika industrialisasi sedang gencar-gencarnya dilakukan ditiap-tiap daerah dan kekuasaan yang sifatnya sentralistis. Namun, yang kemudian menjadi pertanyaan adalah apakah paham atau ajaran fasisme ini telah mati setelah Era Reformasi mulai bergulir di Indonesia ?
            Seperti kita ketahui bersama, bahwa semenjak jatuhnya rezim yang sangat totaliter dibawah pimpinan Presiden Soeharto, seakan-akan demokrasi di Indonesia telah membuka pintu gerbangnya kearah demokrasi yang lebih terbuka dan adil yang mampu untuk mensejahterakan rakyatnya untuk kehidupan yang lebih lagi. Namun, pada kenyataannya adalah tidak sama sekali!. Artinya, karena kebebasan yang mungkin terlalu bebas semakin membuat demokrasi kita menjadi demokrasi yang cacat dan berujung pada pragmatisme dalam melakukan perjuangan. Politik sektarianisme sangatlah kental diterapkan dinegara kita saat ini, bagaimana distribusi kekuasaan yang harusnya memang mengalir dan dinamis dalam tubuh masyarakat, sekarang hanya menjadi distribusi yang berporos pada kerabat, teman dekat, atau bahkan keluarga. Disinilah yang kemudian memunculkan paradigma kepentingan rakyat yang bergeser pada kepentingan golongan atau pribadi yang tentunya berimbas pada kesejahteraan rakyat yang kurang merata.
            Salah satu bukti kegagalan demokrasi masa reformasi ini adalah masih banyaknya masyarakat kita yang miskin dan tidak perpendidikan. Ini bisa dibuktikan dengan Indeks Pertumbuhan Manusia (IPM) kita yang masih berada dibawah 100 negara lainnya, bahkan Singapura maupun Malaysia. Dan iitu juga dibuktikan dengan pendapatan perkapita kita yang hanya 4.200 (dollar AS) dari 245,6 juta jiwa penduduk yang ada (Kompas:16 November 2011). Ini telah membuktikan bahwa negara kita adalah termasuk negara yang miskin didunia. Meskipun tingkat PDB kita mengalami peningkatan menjadi 6,1 persen, namun itu hanyalah berdasarkan akumulasi data dari hasil inflasi yang notabennya adalah hasil dari investasi asing yang masuk ke negara kita.
            Ini tidak lain adalah akibat dari adanya sistem ekonomi kita yang cenderung bergerak kearah neoliberalisme. Sehingga itu yang kemudian membuat rakyat atau masyarakat kita semakin sengsara akibat banyaknya perusahan MNC yang masuk dan mulai menguasai pasar yang ada di Indonesia. Dan imbasnya adalah kemiskinan yang semakin merajalela dan kesejahteraan hidup masyarakat yang terbelakang menjadi sangat jauh dari apa yang dicita-citakan dalam butir pancasila. Inilah yang memunculkan stigma bahwa pemerintahpun seolah sudah tidak peduli terhadap permasalahan kemiskinan yang ada di Indonesia. Begitu kuatnya intervensi dari pihak asing yang membuat pemerintah sendiri dalam menetapkan segala bentuk kebijakannya cenderung merugikan rakyat kecil. Pembangunan sejumlah mall di daerah-daerah subur, beras yang banyak mengimpor dari negara lain, ladang-ladang persawahan yang mulai disulap menjadi villa ataupun perumahan, dan masih banyak lagi contoh kebijakan atau penataan sejumlah daerah yang terkesan sangat tidak memperhatikan kelanjutan dari masa depan Indonesia.
            Memang, klaim dari pemerintahan mengenai berkurangnya penduduk yang hidupnya dibawah garis kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi yang meningkat sangatlah santer diberitakan. Namun pada kenyataannya, kesenjangan sosial antara kaum pemilik modal dengan para pekerja atau buruh sangatlah signifikan. Sekali lagi, inilah bukti dari kegagalan pemerintah terhadap masalah belenggu kemiskinan yang melanda Indonesia sejak dulu. Dan disinilah letak justifikasi terhadap bagaimana demokrasi yang berjalan di Indonesia cenderung berbau nilai-nilai fasisme. Tidak ada kebijakan yang mengarah pada rasio keadilan, kesenjangan sosial antara kaum kaya dan miskin yang semakin melebar, dan politik yang cenderung mengarah pada demokrasi sektarianis inilah yang menunjukkan adanya fasisme gaya baru yang mulai merongrong dan memasuki sistem ataupun dinamika sosial di negara kita.
Maka dari itu, pembenahan-pembenahan harus segera dilakukan, baik itu dari pemerintah, maupun masyarakatnya sendiri. Dari pemerintah misalnya, bagaimana pemerintah harus selalu mengutamakan kepentingan rakyat ketimbang mengadakan perjanjian dengan pihak-pihak asing yang notabennya itu adalah suatu bentuk imperialisme gaya baru didunia saat ini. Pun juga dengan masalah politis dalam dinamika demokrasi, artinya pragmatisme dalam mencari kekuasaan harus segera ditinggalkan dan mulailah kembali kearah perjuangan nilai-nilai yang mungkin selama ini mulai tergerus oleh rakusnya sifat yang cenderung hanya untuk berkuasa dan menghasilkan prestise sesaat. Dan untuk masyarakatnya sendiri, yaitu harus ada yang namanya perubahan paradigma berpikir dalam diri masyarakat. Artinya deliberasi publik sangatlah dibutuhkan untuk kemudian ikut melakukan kontrol terhadap kebijakan yang akan maupun telah dikeluarkan oleh pemerintah. Dengan begitu, demokrasi yang memang benar-benar matang dan sesuai dengan asas demokratisnya akan datang sendiri pada kita, yang berujung pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar